Kamis, 05 Juli 2012

KOMUNIKASI POLITIK

A.    PENGERTIAN
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik.
Menurut Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Perloff: Politik Communications is a Process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy.
Sedangkan menurut Dan Nimmo, Communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.

B.     RUANG LINGKUP KOMUNIKASI POLITIK
Menurut ilmuan komunikasi, pembagian teori komunikasi dapat diklasifikasikan kedalam tiga konsep, yang diungkapkan oleh W. L Rivers, W. Schramm dan C. G. Cristians, dalam buku “Responsibility in Mass Communication” yakni :
  • Konsep komunikasi dalam politik authoritarianism, bahwa komunikasi politik dimana lembaga suprasrtuktur politik mengatur bahkan menguasai sistem politik yang menghubungkan suprastruktur dan infrastruktur. Artinya bahwa pemerintah memiliki kendali yang besar dalam mengendalikan komunikasi. Masyarakat bahkan tidak diberi kebebasan dalam komunikasi, dan hanya bisa menerima semua pesan komunikasi politik yang disampaikan oleh negara.
  • Konsep komunikasi dalam politik liberitarianism, artinya bahwa komunikasi politik banyak diperankan oleh infrastruktur politik, dan mereka bahkan memiliki kewenangan yang besar dalam menguasai sistem komunikasi politik. Artinya masyarakat sangat berpengaruh besar dalam media komunikasi politik. Dalam konteks ini, negara hanya berperan sebagai pemantau kegiatan komunikasi agar tidak terjadi penyimpangan yang melanggar hukum yang dapat merugikan masyarakat umum.
  • Konsep komunikasi dalam politik Social Responsibility Theory, bahwa komunikasi politik dimana lembaga suprasrtuktur politik mengatur bahkan menguasai sebagian besar sistem politik yang menghubungkan antara suprastruktur dan infrastruktur politik. Artinya negara memiliki pengaruh yang lebih besar dalam mengendalikan media komunikasi politik kepada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan sistem politik dan bahkan hanya bisa menerima pesan politik yang disampaikan negara.
Dilihat dari ketiga konsep komunikasi politik diatas, semuanya dapat diterapkan dibeberapa negara. Namun, dalam perkembangan teknologi yang semakin maju seperti saat ini, akan sulit sekali mengontrol setiap komunikasi yang berupa pesan politik yang disampaikan oleh sebagian masyarakat umum.
Dalam pengaplikasiannya, komunikasi politik dapat mencakup tentang konsep, strategi, dan teknik kampanye, propaganda, dan opini publik. Yang paling umum diterapkan dan biasanya dijadikan alat yakni dalam teknik kampanye. 

C.    MODEL-MODEL KOMUNIKASI POLITIK
Dalam penerapan komunikasi politik, ada beberapa perbedaan karakteristik yang menyebabkan timbulnya yang disebut model komunikasi politik. Model sendiri memiliki berarti suatu perwujudan suatu fenomena, baik secara nyata maupun abstrak, dengan memperlihatkan unsur-unsur yang terpenting dalam fenomena tersebut.
Berikut model-model komunikasi politik:
  • Komunikasi politik tradisional, bahwa komunikasi yang diterapkan oleh para elit politik hanyalah untuk kepentingan golongan mereka saja. Media massa difungsikan sebagai alat kontrol sosial untuk memelihara ketertiban dan pemerintahan golongan elit. Disini terlihat jelas bahwa yang memegang kendali adalah para elit politik, sehingga terjadi ketidak seimbangan antara opini masyarakat dan kebijakan yang dijalankan pemerintah.
  • Komunikasi masa transisi, bahwa media massa harus berjalan secara terang-terangan, tidak terkekang, untuk menciptakan titik pandang yang memberikan pengujian yang independen terhadap pemerintah dan memiliki peluang untuk menelaah semua opini secara bebas dan terbuka.
  • Komunikasi timbal balik, bahwa tejadinya komunikasi dua arah antara media massa dengan masyarakat serta politisi. Pemerintah menerima prinsip pers yang bebas, tetapi pers juga harus melaksanakan pelayanan masyarakat melalui kritik sosial yang didampaikan oleh bebagai komponen masyarakat yang bertanggung jawab, dengan jaminan atas pers bebas.
Penerapan ketiga model diatas sebenarnya tidak mutlak terjadi secara utuh pada suatu sistem pemerintahan. Tetap terjadi beberapa penyimpangan oleh sebagian kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tersendiri. Hubungan antara negara dan media bukanlah seperti yang ditafsirkan oleh kebanyakan orang yakni sebagai perantara dari informasi resmi, mengumpulkan dari sumber-sumber yang resmi, menyampaikan pada warga negara dan mengembalikan tanggapan warga negara kepada pemimpin politik, dalam hal ini pemerintah. Akan tetapi hubungan yang tersusun atas ruang lingkup yang berbeda-beda dan saling bekerja sama adalah politisi, yakni sebagai komunikasi yang memiliki konsekuensi bagi pengaturan perbuatan manusia dan kondisi konflik.

D.    POLA-POLA KOMUNIKASI POLITIK
1.      Pola komunikasi vertikal (top down, dari pemimpin kepada yang dipimpin)
2.   Pola komunikasi horizontal
      (antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok)
3.      Pola komunikasi formal (komunikasi melalui jalur-jalur organisasi formal)
4.  Pola komunikasi informal ( komunikasi melalui pertemuan atau tatap muka, tidak mengikuti prosedur atau jalur-jalur organisasi).

E.     FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLA-POLA KOMUNIKASI POLITIK
1.      Faktor fisik (alam)
2.      Faktor teknologi
3.      Faktor ekonomis
4.      Faktor sosiokultural (pendidikan, budaya)
5.      Faktor politis

F.     SALURAN KOMUNIKASI POLITIK
1.      Komunikasi Massa yaitu komunikasi ’satu-kepada-banyak’.
Contoh : komunikasi melalui media massa.
2.      Komunikasi Tatap Muka yaitu dalam rapat umum, konferensi pers.
3.    Komunikasi Interpersonal yaitu komunikasi ’satu-kepada-satu’ contohnya door to door visit, temui publik atau Komunikasi Berperantara yaitu pasang sambungan langsung ‘hotline’ buat publik.
4.     Komunikasi Organisasi yaitu gabungan komunikasi ’satu-kepada-satu’ dan ’satu-kepada-banyak’: Komunikasi Tatap Muka, contohnya diskusi tatap muka dengan bawahan/staf dan Komunikasi Berperantara contohnya pengedaran memorandum, sidang, konvensi, buletin, newsletter, lokakarya.

G.    KOMPONEN-KOMPONEN SISTEM KOMUNIKASI POLITIK
1.      Lembaga-lembaga politik dalam aspek-aspek komunikasinya
2.      Institusi-institusi media dalam aspek-aspek politiknya
3.      Orientasi khalayak terhadap komunikasi politik
4.      Aspek-aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi.(Gurevitch dan Blumler)

H.    SUMBER (KOMUNIKATOR) DALAM KOMUNIKASI POLITIK
Individual
Kolektif
Pejabat (birokrat)
Pemerintah (birokrasi)
Politisi
Partai politik
Pemimpin opini
Organisasi kemasyarakatan
Jurnalis
Media massa
Aktivis
Kelompok penekan
Lobbyist
Kelompok elite
Pemimpin
Badan/perusahaan komunikasi (media massa)


Referensi: 
Dan Nimmo. Komunikasi Politik. Rosda, Bandung, 1982; Gabriel Almond The Politics of the Development Areas, 1960; Gabriel Almond and G Bingham Powell, Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company, 1976; Mochtar Pabottinggi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalam Indonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta, Gramedia, 1993.